Jumat, 18 September 2015

Siapa yang Menjual Kulit Qurbannya Maka Tidak Ada Qurban Baginya

Soal :
Bolehkah panitia qurban mendapat jatah khusus ketika pembagian hasil qurban?
Karena ini menjadi kebiasaan hampir di semua daerah d tempat saya. Mohon pencerahan.

Jawab :
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du,
Sebelumnya kita simak hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ بَاعَ جِلْدَ أُضْحِيَتِهِ فَلاَ أُضْحِيَةَ لَهُ
Siapa yang menjual kulit qurbannya maka tidak ada qurban baginya. (HR. al-Hakim 2/390, Baihaqi dalam al-Kubro no. 19015 dan dihasankan al-Albani)

Orang yang berkurban tidak boleh menjual apapun dari hasil qurbannya. Karena orang yang berqurban, dia telah menyerahkan semua hewannya dalam rangka beribadah kepada Allah. Sehingga dia tidak boleh menggunakannya untuk kepentingan komersial, yang keuntungannya kembali kepada dirinya.
Termasuk diantaranya adalah mengupah jagal dengan mengambil bagian hasil qurban. Jika sohibul qurban mengupah jagal dengan sebagian hasil qurban, berarti qurbannya tidak utuh. Karena ada sebagian yang diwujudkan dalam bentuk bayar jasa.
Untuk itulah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang mengupah jagal dari hasil qurban.
Sahabat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu menceritakan,
أَمَرَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ أَقُومَ عَلَى بُدْنِهِ وَأَنْ أَتَصَدَّقَ بِلَحْمِهَا وَجُلُودِهَا وَأَجِلَّتِهَا وَأَنْ لَا أُعْطِيَ الْجَزَّارَ مِنْهَا . قَالَ : نَحْنُ نُعْطِيهِ مِنْ عِنْدِنَا
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkanku untuk menangani onta kurbannya, mensedekahkan dagingnya, kulitnya, dan asesoris onta. Dan saya dilarang untuk memberikan upah jagal dari hasil qurban. Ali menambahkan: Kami memberikan upah dari uang pribadi. (HR. Bukhari 1717 & Muslim 1317).

Hukum Panitia Menerima Upah dari Hasil Qurban

Kita akan melihat posisi panitia dalam kegiatan qurban,
Pertama, panitia adalah pihak yang diamani sohibul qurban untuk menangani hewan qurbannya, dari penyembelihan sampai distribusi hasil qurban. Ada juga yang diamanahi dari sejak pengadaan hewan.
Kedua, berdasarkan pengertian di atas, posisi panitia adalah wakil bagi sohibul qurban.
Ketiga, panitia bukan amil. Tidak ada istilah amil dalam pelaksanaan qurban. Amil hanya dalam syariat zakat. Karena itu, adalah kesalahan ketika panitia menerima hasil qurban dengan jatah khusus, dengan alasan sebagai amil.
Keempat, panitia berhak mendapatkan upah dari sohibul qurban, atas jasanya menangani hewan qurbannya. Statusnya transaksinya al-wakalah bil ujrah (mengambil upah karena telah mewakili)
Kelima, mengingat panitia berhak dapat upah, maka panitia tidak boleh mengambil upah dari hasil qurban. Baik bentuknya panitia mendapat jatah khusus atau panitia mendapat jatah makan dari hasil hewan qurban, sebagai ucapan terima kasih atas jasanya menangani hewan qurban.
Upah untuk panitia, diambil dari biaya operasional yang dibebankan kepada sohibul qurban, sebagaimana keterangan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu,
“Saya dilarang untuk memberikan upah jagal dari hasil qurban. Ali menambahkan: Kami memberikan upah dari uang pribadi. (HR. Bukhari 1717 & Muslim 1317).

Boleh Menerima Sebagai Hadiah atau Sedekah

Panitia boleh menerima hasil qurban, sebagai hadiah atau sedekah dari sohibul qurban. Artinya itu di luar upah.
Syaikh Abdullah al-Bassam menuliskan,
“Tukang jagal tidak boleh diberi daging atau kulitnya sebagai bentuk upah atas pekerjaannya. Hal ini berdasarkan kesepakatan para ulama. Yang diperbolehkan adalah memberikannya sebagai bentuk hadiah jika dia termasuk orang kaya atau sebagai sedekah jika ternyata dia adalah miskin…..”
(Taudhihul Ahkaam, 4/464).

Beda Hadiah/sedekah dengan Upah

Kita bisa membedakan hadiah dengan upah,
  1. Hadiah sifatnya suka rela, upah statusnya kewajiban dan tanggung jawab orang yang mendapatkan jasa
  2. Hadiah tidak bisa dituntut. Orang yang tidak menerima, tidak bisa memaksa orang lai untuk memberikannya. Upah bisa dituntut. Jika tidak diberikan, dia bisa meminta secara paksa.
  3. Hadiah tidak ada ukurannya. Boleh diberikan senilai berapapun. Sementara upah ada ukurannya, yaitu sesuai kesepakatan.
  4. Upah sebagai ganti dari kerja yang dilakukan. Sehingga jika tidak diberikan dia merasa dirugikan. Hadiah, tidak ada hubungannya dengan pekerjaan. Sehingga jika tidak mendapatkan, tidak ada istilah dirugikan.
Ketika jatah khusus yang diberikan panitia sifatnya bisa dituntut, dalam arti, jika ada panitia yang tidak menerima jatah khusus, dia merasa dirugikan, sehingga berhak untuk meminta, maka jatah khusus ini upah, bukan hadiah.
Dan jika jatah khusus ini sifatnya suka rela, panitia yang tidak menerima, tidak merasa  dirugikan, sehingga dia tidak meminta, maka ini hadiah.
Allahu a’lam.

Ustadz Ammi Nur Bait

sumber : konsultasisyariah(dot)com

0 komentar:

Posting Komentar