Minggu, 20 September 2015

Sekarang Teknologi Sudah Maju, Kenapa Masih Menggunakan Rukyatul Hilal?

Cara Islam Menentukan Awal Bulan Hijriyah

Cara menentukan awal dan akhir Ramadhan sudah digariskan oleh Islam melalui lisan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Perhatikan hadits berikut.

وَعَنِ اِبْنِ عُمَرَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا [ قَالَ ]: سَمِعْتُ رَسُولَ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَقُولُ: إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا, وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا, فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ
Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika kalian melihat hilal, maka berpuasalah. Jika kalian melihatnya lagi, maka berhari rayalah. Jika hilal tertutup, maka genapkanlah (bulan Sya’ban menjadi 30 hari).” (Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari no. 1906 dan Muslim no. 1080).
Hadits di atas menunjukkan bahwa penentuan awal Ramadhan hanya dengan dua cara, tidak ada cara ketiga. Cara pertama adalah dengan rukyatul hilal. Cara kedua adalah menggenapkan bulan Sya’ban menjadi 30 hari.

Jika Ada yang Menyanggah …


1- Kenapa kalau dalam jadwal shalat memakai hisab boleh, kalau dalam penentuan awal Ramadhan tidak boleh?
Jawaban simpelnya, jadwal waktu shalat itu memakai petunjuk posisi matahari dan itu setiap hari bisa berulang sehingga mudah diperkirakan. Sedangkan penentuan awal Ramadhan dengan bulan. Keduanya jelas berbeda, ditambah pula berbeda dalil.
Jawaban tambahan, yang dibebankan oleh syariat kepada kita dalam penentuan waktu-waktu shalat adalah menyesuaikan dengan posisi aktual (waqi’ al haal), misalnya maghrib adalah ketika matahari sudah tenggelam, dst. Perhitungan hisab dalam hal ini memberi informasi posisi aktual (waqi’ al haal) bahwa pada jam sekian matahari dalam posisi sudah tenggelam, atau semacamnya. Berbeda dengan masalah menentukan awal bulan, yang dibebankan syari’at kepada kita adalah melihat hilalnya bukan mengetahui posisi aktual (waqi’ al haal) -nya. Ini sama sekali berbeda. (Sumber: Menyoal Metode Hisab)

2- Sekarang teknologi sudah maju, kenapa masih menggunakan rukyatul hilal?
Simpel pula jawabannya, karena kita manut pada dalil. Dalil perintahkan untuk rukyatul hilal, maka kita melakukannya. Dan pula di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah ada metode hisab tetapi beliau tidak menggunakannya. Urusan mesti angkat-angkat alat ketika rukyat, yah itu karena tuntutan dalam beramal. Sebagaimana kita perlu susah payah berjalan menuju masjid untuk shalat jama’ah.
Seharusnya sikap seorang muslim adalah patuh pada dalil, jangan cuma karena alasan berat dan susah sehingga enggan menggunakan cara yang Rasul –shallallahu ‘alaihi wa sallam– tempuh. Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS. Al Ahzab: 36).

Ijma’ (Sepakat Ulama): Metode Hisab Bukan Jadi Tolak Ukur
Kami pun simpulkan bahwa metode hisab jika jadi rujukan utama seperti yang dipilih sebagian ormas, maka ini keliru dan telah menyelisihi ijma’ atau kesepakatan para ulama. Al Baaji berkata,
إجماع السلف على عدم الاعتداد بالحساب ، وأن إجماعهم حجة على من بعدهم
“Para ulama sepakat bahwa metode hisab bukanlah jadi tolak ukur dalam penentuan awal bulan. Kesepatan para ulama inilah yang jadi argumen untuk meruntuhkan pendapat mereka yang masih membela metode hisab.” (Fathul Bari, 4: 127)
Begitu pula Ibnu Bazizah berkata, “Madzhab (yang berpegang pada hisab, pen) adalah madzhab batil. Sungguh syariat Islam telah melarang seseorang untuk terjun dalam ilmu nujum. Karena ilmu ini hanya sekedar perkiraan (zhon) dan bukanlah ilmu yang pasti (qoth’i) bahkan bukan sangkaan kuat. Seandainya suatu perkara dikaitkan dengan ilmu hisab, sungguh akan mempersempit karena tidak ada yang menguasai ilmu ini  kecuali sedikit”. (Idem)
Rasul sendiri yang katakan bahwa beliau tidak mengenal hisab. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Ibnu ‘Umar,
إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ ، لاَ نَكْتُبُ وَلاَ نَحْسِبُ ,الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا
Sesungguhnya kami adalah umat ummiyah. Kami tidak mengenal kitabah (tulis-menulis) dan tidak pula mengenal hisab. Bulan itu seperti ini (beliau berisyarat dengan bilangan 29) dan seperti ini (beliau berisyarat dengan bilangan 30).” (HR. Bukhari no. 1913 dan Muslim no. 1080).
Beda halnya jika metode tersebut hanya sebagai cara untuk sekedar memperkirakan dan tetap menjadikan rukyatul hilal sebagai penentuan awal dan akhir Ramadhan. Lihat saja di Kerajaan Saudi Arabia, metode hisab memang digunakan untuk memperkirakan kalender Hijriyah dalam setahun, apalagi mereka yang menjadikan kalender hijriyah sebagai rujukan keseharian. Namun ketika awal bulan masih dikoreksi dengan metode rukyatul hilal.
Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah kepada al-haq.

Dinukil dari artikel Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal, MSc di sini

0 komentar:

Posting Komentar